Selasa, 30 Maret 2010

Tinjauan Tasawuf Dalam Perspektif Islam


Pendahuluan

Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian study islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan jiwa manusia agar mampu melahirkan akhlak yang mulia dalam kehidupannya. Menurut perspektif sufistik, seseorang dengan jiwa yang ernih akan mampu mengendalikan diri dan memelihara perilaku hidupnya dengan ihlas karena merasakan kedekatan dengan tuhannya. Jadi tasawuf menghendaki adanya keterkaitan antara aspek esoteric (niat dalam hati) dengan aspek eksoterik (amal perbuatan) akan tetapi perhatian tasawuf disini hanya merujuk pada upaya penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.
Peilaku tasawuf sebenarnya sudah ada sejak masa nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasulullah. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa nabi Muhammad SAW pernah berkhalwat di Gua Hira’ selama berhari-hari terutama dalam bulan Ramadhan, disana nabi bertafakur sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini kemudian di gunakan sebagai acuan utama para sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah selain juga mengacu pada perilaku hidup para sahabat nabi yang mencerminkan kezuhudan, ketaqwaan, dan keteduhan iman serta budi pekerti yang luhur.
Dalam perkembangan selanjutnya, upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada tuhan, kemudian diteorisasikan dalam disiplin-disiplin tertentu didalam tasawuf yang mempunyai tahapan-tahapan atau tingkatan (maqam) spiritualitas yang terdiri dari syuhud (persaksian), Wajd (perjumpaan) dan fana (peniadaan diri).

Pengertian Tasawuf

Penamaan tasawuf atau shufi sebenarnya tidak ditemukan secara pasti dari kata apa asalnya. Ada perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal kata shufi ataupun tasawuf.
Menurut Ibnu Taimiyah kat shufi berasal dari kata Shuf, sepatah kata bahasa arab untuk sakhlat atau kain wol (dari bulu domba) yang merujuk kepada mantel sederhana yang dipakai oleh zuhid-zahid Islam pada zaman awal, yaitu sebuah tradisi sufistik Islam yang merangkum berbagai kepercayaan dan amalan, diantaranya ialah aspek esoterik mengenai komunikasi dan dialog langsung antara seseorang dengan Allah. Meski demikian tidak semua sufi memakai mantel atau pakaian yang diperbuat dari pada sakhlat.
Sedang pendapat lain menyatakan bahwa perkataan “sufi” adalah berasal dari perkataan “Ashab al-Suffa” (teman-teman serambi) yang merupakan sekumpulan penganut Islam pada zaman nabi Muhammad SAW yang menghabiskan banyak masa di serambi masjid nabi untuk bersembahyang.
Selain itu menurut sebuah teori etimologi yang lain, menyatakan bahwa kata dasar untuk “tasawuf” atau Sufi ialah perkataan bahasa arab “safa” yang bermaksud kesucian, dan merujuk kepada penegasan sufisme terhadap kesucian hati dan jiwa.
Akan tetapi dari pendapat lain tentang penamaan itu menunjukkan sebagian pemikiran mereka, yaitu pemikiran yang kembali kepada pemikiran-pemikiran kuno seperti yang disebutkan Al-Biruni Abu Ar-Rahyan yang menisbatkan tasawuf kepada kata “sofia” Yunani yang berarti hikmah (filsafat), mengingat Saling dekatnya pendapat-pendapat antara pendapat orang-orang shufi dengan para filosof Yunani kuno.
Dari berbagi pendapat tersebut di atas, tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.


Sejarah Tasawuf

Tasawuf bermula pada saat masa tabiin (setelah masa sahabat berlalu). menurut Al-Dzahabi, pada masa Raslullah SAW belum dikenal istilah tasawuf, istilah tersebut mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya th 150H. Orang yang pertama dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam ialah Abu Hasyim al –Kufi (w.250H) dengan meletakkan “al-Suffi” di belakang namanya.
Dalam sejarah Islam, sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud yang timbul pada ahir abad ke I dan permulaan abad ke II Hijriyah, pada masa ini kondisi sosial politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan barkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok bani Umayyah, Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah.
Pada masa kekuasaan Bani Ummayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, Khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Syi’ah, yakni kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib yang menjadi lawan politik utama dari pemerintahan Bani Umayyah.
Puncak kezaliman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk kuffah merasa menyesal karena mereka telah menghianati Husain dan memberikan dukungan kepada pihak yang diduga membunuh Husain. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (Kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawabin itu dipimpin oleh Muhtar bin Ubaid As-Saqafi yang terbunuh di Kuffah pada th 68H.
Gejolak politik yang terus berkepanjangan membawa pengaruh besar pada kondisi sosial masyarakat. Hal ini terlihat dari perkembangan kehidupan beragama masyarakat Islam yang jika sebelumnya pada masa Rasulullah SAW dan para Sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana, ketika bani Umayyah berkuasa, kehidupan bermewah-mewahan mulai marak di masyarakat, terutama di lingkungan Istana. Kehidupan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah pada saat itu, terlihat semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi Muhammad SAW besrta Sahabat, dan lebih mirip tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Begitu pula yang terjadi pada pemerintahan selanjutnya yang di pegang oleh anaknya, yaitu Yazid (memerintah th 61H/680M – 64H/683M), yang dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian, kaum muslimin yang shaleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, shaleh, dan tidak tenggelam dalam buaian nafsu. Diantara para penyeru tersebut iyalah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.
Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakatmulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Muhammad SAW beserta Sahabatnya. Mereka mulai menjauhkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan Zuhud menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu di sebut Zahid (zuhhad) dan juga disebut Abid (abidin) karena ketekunan mereka beribadah.
Pada perkembangan selanjutnya, tasawuf diprediksi muncul dari pemikiran para zahid sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidak pastian nilai. Akan tetapi, secara umum taswuf pada masa awal perkembanganya mengacu pada tiga alur pemikiran, yaitu:
  1. Gagasan tentang keshalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan;
  2. Masuknya Gnotisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan dari pada aktif dimasyarakat;
  3. Masuknya pengaruh Budhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme.
bersambung....

Jumat, 31 Juli 2009

Mendobrak Tradisi Orientasi Study Mahasiswa (OSMA)

Tahun Ajaran Baru telah mulai dijalankan di setiap lembaga pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), sampai Perguruan Tinggi (PT). Para siswa yang telah dinyatakan Lulus dalam Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan BSNP sebagai Badan Independen beberapa waktu lalu, telah mulai mendaftarkan diri ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yang lulus SD melanjutkan ke SMP, yang dari SMP ke SMA/sederajad, dan siswa yang lulus SMA mulai mencoba menggapai cita-cita mereka dengan melanjutkan pendidikannya ke jenjang Perguruan Tinggi.
Dalam setiap memasuki jenjang Perguruan Tinggi, seorang siswa atau calon mahasiswa membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru, dunia akademis yang baru, yang sama sekali berbeda dari lingkungan sekolah sebelumnya. Mahasiswa Baru (MABA) sangat membutuhkan pengenalan terhadap civitas akademika yang ada di kampusnya dan berbagai informasi yang berkaitan dengan dunia kampus, mereka dituntut untuk cepat beradaptasi terhadap sistem perkuliahan di kampus dan segala hal yang berkaitan dengan kampus yang akan dihadapi mereka. Maka dari itu, di perlukan bimbingan dan arahan dalam proses transisi dari yang semula adalah seorang siswa sekolah, menjadi “MAHASISWA” Perguruan Tinggi, yang biasa di laksanakan dalam masa orientasi mahasiswa baru.

Orientasi Study Mahasiwa (OSMA) sangatlah penting untuk di laksanakan di awal-awal masa orientasi mahasiswa baru tersebut. Mereka yang mengikuti kegiatan OSMA, diharapkan akan mampu menjadi mahasiswa yang mempunyai orientasi yang jelas dan tidak menyimpang, khususnya dalam bidang akademik. Akan tetapi, seiring dengan pergantian tiap periode akademik, banyak hal yang kemudian mencederai tujuan mulia tersebut. Tidak sedikit pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembentukan ‘orientasi’ dalam diri mahasiswa, menyalah gunakan wewenang dan senioritasnya dalam hal-hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, dan mereka tidak memperhatikan lagi tujuan apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam kegiatan OSMA itu.
Sudah bukan rahasia lagi jika dalam sebuah kegiatan orientasi, banyak terjadi tindakan-tindakan yang bisa dibilang kurang manusiawi yang dilakukan oleh senior kepada yuniornya. Makian, bentakan, sumpah serapah dan bermacam-macam bentuk perpeloncoan, bagaikan bumbu yang biasa mewarnai tradisi OSMA, bahkan tindak kekerasan senior yang berujung pada kematian yuniornya sering kita dengar dari media massa nasional, cetak maupun elektronik. Pernah kita dengar kasus IPDN yang menggerkan publik Indonesia, dengan terungkapnya beberapa ‘maba’ yang tewas disiksa seniornya dengan alasan indisipliner dan tidak mematuhi perintah seniornya. Dan masih banyak tentunya kejadian serupa yang sangat disayangkan harus terjadi di dunia akademik Indonesia tercinta.

Oleh karena demikian, banyak praktisi pendidikan kemudian mengkritisi terhadap adanya kegiatan orientasi seperti itu, yang menurut mereka tidak mendidik dan tidak bermanfaat, baik bagi siswa atau mahasiswa dan juga lembaganya. Sebagian yang lain menganggap bahwa kegiatan tersebut hanya akan membuat calon siswa atau mahasiswa menjadi phobia pergi ke sekolah atau kampus barunya, dan akan timbul kesenjangan serta akan terjadi motifasi balas dendam antara yunior dan senior yang kemudian berimplikasi pada hasil akademik mereka.

Berdasarkan hal-hal diatas, maka mahasiswa sebagai “Agent of Change”, harus berani mendobrak tradisi Orientasi Study Mahasiswa (OSMA) yang menyimpang diatas. Dengan mengusulkan sebuah solusi perubahan yang berdasarkan pada paradigma berpikir yang kritis dan transformatif, bukan hanya normatif dan pragmatis.
Semoga dari artikel pendek ini, akan mampu menjadi sebuah inspirasi bagi mahasiswa-mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi dan gelora yang menyala-nyala sebab ingin melihat indonesia berubah menjadi lebih baik. Yang dari itu, akan muncul Soekarno-soekarno baru, sosok mahasiswa yang selalu berzikir, berfikir dan beramal soleh…. Amin.

Wassalam…

Original by: Lukman Hakim (Ketua Panitia OSMA)
“Sorry, agak narsis” :-)